Apakah
Natal Terjadi Pada Tanggal 25 Desember?
“Natal” berasal dari
bahasa Latin “Natalis,” bahasa Perancis “Noël” dan bahasa Italia “Il Natale”
yang berarti peringatan kelahiran, dan bagi umat kristiani, peringatan Natal
yang dilakukan setiap tanggal 25 Desember adalah peringatan hari kelahiran
Tuhan Yesus Kristus, Juru Selamat umat manusia.
Meskipun demikian,
menurut berbagai sumber, walaupun akhirnya gereja menerima tanggal 25 Desember
sebagai hari kelahiran Yesus, tetapi hal itu terjadi melalui proses yang rumit.
Belum lagi kalau kita hubungkan dengan ceramah Pdt. Joas Adiprasetya dalam
Forum Diskusi Teologia yang lalu, yang menyadarkan kita bahwa sebenarnya Yesus,
walaupun lahir dari perawan Maria, bukanlah makhluk ciptaan. “Lo, mengapa bukan
ciptaan? Bukankah Dia dilahirkan oleh manusia, jadi sudah temasuk ciptaan Tuhan
dong”, begitu kira-kira beberapa pemahaman sebelumnya. Lalu pertanyaan
berkembang menjadi: “Benarkah Ia pernah dilahirkan pada tanggal 25 Desember?
Bukankah Dia sudah ada sebelum dunia diciptakan, bahkan segala sesuatu
diciptakan oleh-Nya? Ia telah ada terlebih dahulu dari segala sesuatu (termasuk
manusia yang kemudian menetapkan siklus hari dan bulan, termasuk adanya tanggal
25 Desember).” Tetapi melalui ceramah Pdt. Joas, kita lalu diingatkan bahwa Dia
sudah ada sebelum dunia diciptakan, bahkan Dialah yang menciptakan dunia ini,
karena Sang Anak sepenuhnya adalah Allah. Aduh, ini makin rumit lagi, karena
selain tanggal dan bulan, bahkan tahun kelahiran-Nya dipersoalkan. Pemahaman
apakah Yesus memang pernah dilahirkan oleh manusia dan apakah dengan demikian
Dia itu makhluk ciptaan Allah juga kadang masih tetap menjadi salah satu bahan
persoalan manusia.
Dalam uraian ini
penulis hanya ingin menyampaikan beberapa pemahaman tentang tanggal, bulan dan
tahun kelahiran-Nya sedangkan yang lain sudah cukup banyak diulas oleh para
ahli di bidang tersebut.
Hari Raya Natal 25
Desember yang dirayakan oleh gereja kita berasal dari tradisi Roma, dan menurut
Pdt. Rasid Rahman (GKI Surya Utama), dalam bukunya “Hari Raya Liturgi” yang
juga beliau kutip dari buku karangan Duchesne (BPK Gunung Mulia 2003, hal 105),
sampai sejauh ini tidak diketahui pasti kapan kelahiran Yesus. Beliau
menuliskan bahwa seorang teolog Yunani, Clemens dari Alexandria, dengan mengacu
pada Luk.3:1 dan Luk.3 :23, memperkirakan bahwa kelahiran Yesus sekitar tanggal
18-19 April atau 29 Mei. Lalu beliau selanjutnya berkata bahwa menurut dokumen
tahun 243, di Afrika dan Italia (Roma) kelahiran Yesus pernah dirayakan pada
tanggal 28 Maret. Menurut ulasan beliau, perayaan Natal terkait dengan tradisi
Mesir yang merayakan Hari Epifania. Epifania, yang berarti penampakan diri atau
kelihatan, berasal dari perayaan musim salju yang dirayakan di Mesir setiap
tanggal 6 Januari, dan perayaan itu telah dilakukan sebelum Yesus lahir. Tetapi
sejak abad ke-3, gereja Mesir (yang kemudian diadopsi oleh gereja Timur, termasuk
gereja Orthodoks), menjadikan tanggal tersebut sebagai perayaan hari kelahiran
Yesus, dengan mendasarkan hal itu pada “penampakan diri Yesus” sejak
pembaptisan-Nya di Sungai Yordan yang kemudian dilanjutkan dengan pelayanan-Nya
kepada orang banyak. Namun di kemudian hari, gereja Timur juga menetapkan
tanggal 6 Januari sebagai hari Epifania dan tanggal 25 Desember sebagai hari
Natal.
Selanjutnya ada yang
menghubungkan Natal dengan terang dan surya yang telah dikenal sejak lama di
wilayah Roma, dengan memaknai Yesus sebagai Sang Surya Kebenaran. Sejak tahun
274 mulai dilaksanakan perayaan “Hari Kelahiran Matahari”, sebagai penutup
“Festival Saturnalia” yang diadakan setiap tanggal 17 sampai 24 Desember. Pada
perayaan itu semua orang bergembira, makan minum, bersorak-sorai sambil
bernyanyi, saling memberi hadiah serta bersalaman. Tetapi umat Kristen yang
semakin berkembang kemudian menyadari bahwa matahari adalah ciptaan Tuhan dan
lalu meninggalkan perayaan yang dianggap kafir itu. Hal itu lalu mendorong
pimpinan gereja Roma untuk mengalihkan perayaan itu sebagai perayaan Natal dan
memperingati kelahiran Sang Surya Kebenaran, yaitu Yesus Kristus yang adalah
Allah sendiri yang menjelma (berinkarnasi) sebagai manusia dan lahir melalui
anak dara Maria.
Sejak tahun 336,
menurut catatan kalender Romawi, perayaan yang kemudian dimaknai sebagai Natal
itu dirayakan setiap tanggal 25 Desember sekaligus juga menggantikan Hari Natal
yang tadinya dirayakan pada tanggal 6 Januari. Kemudian perayaan tanggal 25
Desember itu berkembang ke wilayah lain seperti Anthiokia sejak tahun 375,
Konstantinopel sejak 380, Alexandria sejak 430 dan ke negara-negara lain di
dunia ini. Gereja Mesir sendiri, walaupun ada yang tetap merayakan Natal pada
tanggal 6 Januari, sekitar tahun 427 mulai merayakannya pada tanggal 25
Desember.
Ada sementara
pemahaman bahwa sebenarnya umat kristiani tidak merayakan “harinya” tetapi
“natalnya” karena “natal” berarti awal kehidupan, jadi kita merayakan Natal
untuk mengenang “awal kehidupan bersama-Nya”. Dalam hubungan dengan Yesus
Kristus, maka umat kristiani memahami Natal sebagai suatu kenangan terhadap
kelahiran Sang Firman ke dunia. Perayaan Natal mengenang kehadiran Allah yang
adalah Sang Pencipta yang tidak kelihatan itu, dalam diri Yesus Kristus, atau
Sang Kebenaran dan Juru Selamat Dunia. Jadi dalam pemahaman ini maka Natal yang
dirayakan umat kristiani setiap tanggal 25 Desember adalah peringatan akan
“awal kehidupan bersama Yesus dengan kebenaran yang diajarkan-Nya.”
Inti Natal dengan
demikian dapat merupakan perayaan untuk memperingatkan kita tentang perlunya
kehidupan baru bersama Yesus, berperilaku seperti yang diteladankan-Nya. Umat
kristiani mengakui bahwa Yesus benar pernah hidup di Yudea pada abad pertama
dan lahir di kota Bethlehem. Para leluhur kita dahulu telah menyaksikan-Nya dan
sebagian dari mereka, yaitu para nabi dan para rasul pilihan-Nya, telah
menuliskannya dalam pelbagai tulisan yang sebagian terhimpun dalam Alkitab
setelah melalui proses ratusan tahun yang kita kenal dengan istilah kanonisasi.
Yoh.1:14 berbunyi: “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita
dan kita telah melihat kemuliaan-Nya.” Kita sekarang, walaupun tidak melihat
fisik Yesus dan segala perbuatan-Nya secara langsung, tetap percaya dan
mengimani hal itu karena selain membaca dari Alkitab yang kita pahami sebagai
firman Allah yang dituliskan oleh para nabi dan rasul pilihan-Nya atau
mendengar dari para hamba-Nya, masing-masing kita juga dapat merasakan kuasa
Allah itu di dalam perjalanan hidup kita setiap hari dengan segala
suka-dukanya.
Peristiwa Natal yang
kita imani antara lain seperti yang tertulis di dalam Injil Matius 1:18 sampai
2:15 dan Luk. 2:1-20. Yesus lahir di kota Bethlehem, provinsi Yudea, ketika
kerajaan Romawi berada di bawah pemerintahan Kaisar Agustus. Ketika itu
kerajaan Roma menguasai hampir seluruh daerah yang berada di sekitar Laut
Tengah, mulai dari Palestina dan Siria di bagian Timur, sampai ke Spanyol Barat
dan banyak wilayah di Afrika Utara dan Eropa (lihat keterangan menyangkut
Kaisar Agustus dalam Alkitab edisi Study yang diterbitkan LAI. 2010, hal.
1663). Pada tahun 37 SM, pemerintah Romawi yang berkuasa menunjuk Herodes Agung
menjadi raja di wilayah Palestina dan ia memerintah di sana sampai tahun 4 SM
(sampai wafatnya). Tahun meninggalnya Herodes inilah (tahun 4 SM) juga
merupakan salah satu rujukan tahun kelahiran Tuhan Yesus, sesuai petunjuk dalam
Mat. 2:19.
Akan tetapi,
menyangkut tanggal dan bulan kelahiran Yesus tetap terjadi banyak kontroversi,
karena kalau ditetapkan sekitar bulan Desember sampai Januari, di tanah
Palestina iklimnya cukup dingin, sehingga tidak mungkin ada bintang terang di
langit dan para gembala pun sulit berada di padang Efrata dalam keadaan seperti
itu, lagi pula orang sukar melakukan perjalanan jauh dalam cuaca dingin,
apalagi Maria waktu itu sedang hamil tua, seperti yang kita pahami dari
beberapa pemberitaan di kitab Injil.
Jadi dalam kaitan ini,
maka perayaan Natal yang dilakukan umat kristiani setiap tanggal 25 Desember
bukanlah untuk memperingati bahwa Tuhan Yesus benar lahir pada tanggal 25
Desember, tetapi hanya merupakan kenangan atas lahirnya Sang Surya Kebenaran
itu ke dunia dan telah disaksikan oleh manusia serta diimani oleh umat-Nya
sekarang ini.
Natal bagi umat
kristiani juga bukan untuk memperingati Hari Kelahiran Matahari di bumi seperti
yang pernah dilakukan manusia di kota Roma, tetapi memperingati Hari Kelahiran
Sang Firman yang lahir ke dunia untuk disikapi oleh manusia yang menjalani
kehidupannya di dunia ini. Tetapi perayaan Natal yang dilatarbelakangi perayaan
“Saturnalia” dengan berbagai aktivitasnya, perlu mencerminkan suasana
kegembiraan dan saling berbagi, tetapi diarahkan kepada kegembiraan atas
hadirnya Yesus, yang diisi dengan semangat kasih dan perdamaian, berbagi kasih
serta pertolongan kepada sesama manusia. Sebenarnya dengan pemahaman seperti
itu, maka perayaan Natal tanggal 25 Desember tidaklah mengikat, tetapi
setidaknya untuk memperingatkan umat kristiani agar selalu mengingat-Nya. Umat
kristiani diminta untuk merayakannya dalam suatu persekutuan gereja dan demi
ketertiban, para pemimpin gereja perlu sepakat untuk menyeragamkannya pada
tanggal 25 Desember.
Merayakan Natal itu
sungguh baik karena dapat menjadi suatu upaya untuk merayakan kehadiran-Nya
dalam hati dan pikiran kita masing-masing, mengenang kasih dan kuasa-Nya yang
memimpin perjalanan hidup kita. Juga mengingatkan kita agar terus memuji dan
memuliakan-Nya serta memberitakan kabar baik itu kepada lingkungan kita.
Selamat Hari Natal dan
kiranya Tuhan Yesus Kritus juga lahir di hati kita masing-masing. Amin.